PATOLOGI BIROKRASI DAN TERAPINYA
Birokrasi dalam perkembangannya dewasa ini dipersepsikan sebagai penyelenggaraan pemerintahan, sehingga muncul tiga istilah; yaitu birokrat, politisi dan akademisi. Saluran-saluran yang harus dilalui ketiga istilah ini adalah: birokrat saluran kegiatannya adalah penyelenggaraan pemerintahan, sehingga aparatur pemerintah dikategorikan birokrat. Politisi salurannya adalah pada jabatan-jabatan politik dalam Negara yang diperolehnya melalui aktivitas partai politik. Sedangkan akademisi salurannya kepada dunia pendidikan terutama perguruan tinggi. Bila kita renungkan rumusan Weber bahwa birokrasi itu merupakan ciri organisasi yang berdasarkan dengan struktur berhierarki, rasionalitas, keteraturan dan lain sebagainya, maka dikotomi ketiga istilah di atas sebenarnya terhimpun ke dalam satu kesatuan wadah yang diistilahkan birokrasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka birokrasi merupakan wadah yang menghimpun idealisme, keinginan, pemikiran, penalaran dan lain sebagainya dari birokrat, politisi maupun akademisi yang beraneka ragam bentuk dan karakternya dalam suatu organisasi Negara. Para birokrat, politisi, akademisi dan bahkan seluruh lapisan masyarakat adalah komunitas manusia yang memiliki: (1) rasionalitas yang dapat difungsikan untuk menentukan faktor-faktor yang positif dalam interaksi dan reaksi manusia dari seluruh aspek yang ada di sekitarnya, (2) kebuasan yang sangat kejam di mana binatang yang paling buas bagi manusia dapat dipunahkan, tetapi binatang tidak pernah memunahkan manusia. Sifat rasionalitas dan kebuasan manusia ini dalam kehidupan birokrasi dapat dimanfaatkan dengan baik apabila pengelolaannya dan pengaturannya sesuai dengan kaidah-kaidah dan norma-norma yang tepat.
Manusia dalam birokrasi dengan kodratinya memiliki kreativitas untuk pengembangan birokrasi. James R. Evans (1994) mengemukakan pengertian kreativitas adalah keterampilan untuk menentukan pertalian, melihat subyek dan perspektif baru, dan membentuk kombinasi-kombinasi baru dari dua atau lebih konsep yang telah tercetak dalam pikiran. Berdasarkan pandangan ini kita dapat merumuskan kreativitas birokrasi yang dapat dikatakan pertalian antara cara berpikir dengan cara bertindak setiap manusia individu dalam ikatan birokrasi sehingga menghasilkan sesuatu baik yang berkaitan dengan pemikiran atau penalaran maupun yang berkaitan dengan hasil kerja dari setiap individu yang dapat digunakan atau dimanfaatkan untuk pertumbuhan atau perkembangan birokrasi dan kesejahteraan anggota birokrasi.
Pengembangan (development) birokrasi pada masa periode tertentu senantiasa mengalami perubahan secara flutuatif, tidak ada sesuatu perubahan yang terjadi dalam sebuah birokrasi yang selalu mengarah kepada perubahan secara positif, misalnya selalu memperoleh keuntungan dalam berusaha atau juga senantiasa memperoleh kemudahan dalam penyelesaian suatu kegiatan. Tetapi juga senantiasa mengalami perubahan yang senantiasa mengarah kepada kondisi negatif, misalnya mengalami kerugian, menghadapi permasalahan dalam pelaksanaan suatu kegiatan. Mengapa demikian? Karena aktivitas birokrasi banyak dipengaruhi oleh kondisi politik yang sedang beraksi. Politik memang beraksi untuk mendapatkan suatu kekuasaan yang diistilahkan dengan otoritas. Bila kita mengidentifikasi otoritas dalam suatu birokrasi, kita dapat kemukakan argumentasi sebagai bahan penghayatan, sebagai berikut: a.
Otoritas kharismatik. Setiap anggota dalam suatu birokrasi tidak lepas dari kekuasaan dan kewenangan yang sifatnya warisan dari pendahulunya yang memiliki ikatan hubungan keluarga atau dengan kata lain memiliki hubungan darah dari pendahulunya yang mendapat pengakuan dan kekaguman dari pengikutnya pada khususnya dan anggota masyarakat luas pada umumnya. Otoritas kharismatik yang dimiliki oleh pemimpin suatu birokrasi akan menjadi suatu kekuatan apabila manusia yang memiliki kharismatik itu, juga memiliki kemampuan pengetahuan teoritis terutama di bidang kepemimpinan yang diperoleh melalui proses belajar. Demikian pula sebaliknya jika otoritas yang dimiliki oleh seseorang hanya mengandalkan kharismatik yang diwarisi oleh pendahulunya, maka akan memiliki kelemahan dalam rangka melaksanakan otoritas itu dalam suatu birokrasi. b.
Otoritas tradisional. Kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang anggota birokrasi berdasarkan tradisi dari warisan nenek moyang mereka, dapat memberikan suatu kekuatan jika nilai-nilai tradisi itu belum mengalami pergeseran dalam kehidupan masyarakat pada umumnya dan terutama bagi kehidupan birokrasi yang bersangkutan, dapat menjadi penghambat apabila nilai-nilai tradisional itu tetap dipertahankan terutama pemimpin birokrasi yang bersangkutan. c.
Otoritas legal. Kekuasaan dan kewenangan yang diberikan kepada seseorang dalam sebuah birokrasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan dituangkan dalam suarat keputusan oleh pejabat yang diberikan kewenangan untuk itu. Hal inilah yang dimaksudkan dengan otoritas legal. Kekuasaan dan keweangan yang memiliki legalitas dapat memperkuat pelaksanaan kekuasaan dan kewenangan yang melekat pada diri seseorang anggota birokrasi. Kekuasaan dan kewenangan yang ditetapkan suatu peraturan perundang-undangan akan mempermudah pelaksanaannya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan itu.
Kekuasaan dan kewenangan manusia yang terikat dalam sebuah birokrasi memeiliki tingkatan yang berbeda-beda, semakin tinggi posisi seseorang maka kekuasaan dan kewenangan semakin besar, tetapi tanggungjawab dalam penyelesaian berbagai aktivitas semakin kecil. Demikian pula sebaliknya bila posisi seseorang semakin rendah, semakin kecil pula kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki, tetapi semakin besar tanggungjawab penyelesaian aktivitas. Fenomena ini dalam birokrasi mendorong manusia untuk berusaha menciptakan kemampuan untuk dapat merebut kekuasaan dan kewenangan yang lebih tinggi. Istilah yang popular dewasa ini merebut posisi yang sedikit kerja, tetapi penghasilannya besar.
Perebutan kekuasaan dan kewenangan yang didasarkan kepada profesionalisme, rasionalisme dan moralitas merupakan suatu penyakit atau patologi dalam birokrasi. Profesionalisme manusia yang lemah dalam sebuah birokrasi sebenarnya dapat dipastikan akan berakibat negative terhadap perkembangan birokrasi itu sendiri karena produktivitas birokrasi semakin lemah dan semangat kerja pun akan menurun. Rasionalias manusia birokrasi yang lemah beraibat kreativitas dalam melakukan suatu aktivitas semakin lemah pula dan hasil kerja pun semakin berkurang. Manusia dalam birokrasi yang memiliki moralitas yang lemah dapat berakibat perbuatan yang dilakukan itu sellau saja merugikan brokrasi bahkan dapat mematikan birokrasi itu sendiri.
Kerugian pokok dari perebutan kekuasaan dan kjewenangan terletak pada kebingungan yang diciptakan oleh anggota birokrasi itu sendiri, di mana kecenderungan diciptakannya kondisi yang terpupuknya pergulatan akan kehausan kekuasaan, ketidakpuasan apa yang diperoleh dalam birokrasi, pembagian dan beban kerja yang diberikan kepada setiap anggota birokrasi semakin tidak tegas dan elas. Hal ini akan berakibat: a.
Perbahan yang terjadi dalam birokrasi bukan didasarkan kepada tindakan profesionalitas, rasionalitas dan moralitas sehingga kehidupan birokrasi semakin lemah dan lesu; b.
Tidak efektif dan efisiensinya dalam mengembangkan tuntutan para anggota birokrasi terhadap performa produknya dengan kebutuhan pengembangan birokrasi itu sendiri; c.
Tidak termotivasinya anggota birokrasi untuk mengembangkan kreativitas dan inovasinya; d.
Setiap anggota birokrasi dalam melakukan suatu tindakan bukan lagi berdasarkan kepada pemikiran rasional, tetapi kecenderungan tindakannya irasional; e.
Interaksi dan reaksi baik antara anggota birokrasi, antara anggota birokrasi dengan anggota masyarakat lainnya senantiasa mengabaikan norma-norma moralitas. Virus penyakit atau patologi birokrasi tersebut di atas, dapat menciptakan pertanyaan bahwa apakah virus penyakit atau patologi birokrasi itu dapat disembuhkan dengan menggunakan terapi yang tepat? Sebagaimana kita telah ketahui bahwa jiwa atau roh dan fisik birokrasi adalah manusia, demikian pula halnya dengan virus penyakit atau patologi birokrasi itu adalah manusia juga oleh sebab itu birokrasi memerlukan manusia yang memiliki keunggulan: a.
Unggul dalam penguasaan ilmu dan teknolgi. Telah disadari bahwa peranan ilmu dan teknologi dapat mendorong manusia untuk berusaha menggunakan pemikirannya yang berorientasi kepada rasionalitas dan bertindak secara terampil, sehingga manusia yang bersangkutan terhindar dari pikiran dan tindakan yang bersifat egoisme. b.
Unggul dalam penguasaan strategik. Kondisi birokrasi menghadapi dua jenis lingkungan, yaitu lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Dengan penguasaan strategic dalam persaingan kemungkinannya akan dapat terhindar dari pemikiran dan tindakan yang bersifat egoisme. c.
Unggul dalam berkolaborasi. Tindakan berkolaborasi dalam kehidupan birokrasi adalah suatu hal yang tidak mungkin dapat dihindari, tetapi justru perlu dikembangkan untuk mengembangkan jaringan atau hubungan kerja dengan berbagai pihak, karea keberhasilan suatu birokrasi sangat tergantung
Birokrasi dalam perkembangannya dewasa ini dipersepsikan sebagai penyelenggaraan pemerintahan, sehingga muncul tiga istilah; yaitu birokrat, politisi dan akademisi. Saluran-saluran yang harus dilalui ketiga istilah ini adalah: birokrat saluran kegiatannya adalah penyelenggaraan pemerintahan, sehingga aparatur pemerintah dikategorikan birokrat. Politisi salurannya adalah pada jabatan-jabatan politik dalam Negara yang diperolehnya melalui aktivitas partai politik. Sedangkan akademisi salurannya kepada dunia pendidikan terutama perguruan tinggi. Bila kita renungkan rumusan Weber bahwa birokrasi itu merupakan ciri organisasi yang berdasarkan dengan struktur berhierarki, rasionalitas, keteraturan dan lain sebagainya, maka dikotomi ketiga istilah di atas sebenarnya terhimpun ke dalam satu kesatuan wadah yang diistilahkan birokrasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka birokrasi merupakan wadah yang menghimpun idealisme, keinginan, pemikiran, penalaran dan lain sebagainya dari birokrat, politisi maupun akademisi yang beraneka ragam bentuk dan karakternya dalam suatu organisasi Negara. Para birokrat, politisi, akademisi dan bahkan seluruh lapisan masyarakat adalah komunitas manusia yang memiliki: (1) rasionalitas yang dapat difungsikan untuk menentukan faktor-faktor yang positif dalam interaksi dan reaksi manusia dari seluruh aspek yang ada di sekitarnya, (2) kebuasan yang sangat kejam di mana binatang yang paling buas bagi manusia dapat dipunahkan, tetapi binatang tidak pernah memunahkan manusia. Sifat rasionalitas dan kebuasan manusia ini dalam kehidupan birokrasi dapat dimanfaatkan dengan baik apabila pengelolaannya dan pengaturannya sesuai dengan kaidah-kaidah dan norma-norma yang tepat.
Manusia dalam birokrasi dengan kodratinya memiliki kreativitas untuk pengembangan birokrasi. James R. Evans (1994) mengemukakan pengertian kreativitas adalah keterampilan untuk menentukan pertalian, melihat subyek dan perspektif baru, dan membentuk kombinasi-kombinasi baru dari dua atau lebih konsep yang telah tercetak dalam pikiran. Berdasarkan pandangan ini kita dapat merumuskan kreativitas birokrasi yang dapat dikatakan pertalian antara cara berpikir dengan cara bertindak setiap manusia individu dalam ikatan birokrasi sehingga menghasilkan sesuatu baik yang berkaitan dengan pemikiran atau penalaran maupun yang berkaitan dengan hasil kerja dari setiap individu yang dapat digunakan atau dimanfaatkan untuk pertumbuhan atau perkembangan birokrasi dan kesejahteraan anggota birokrasi.
Pengembangan (development) birokrasi pada masa periode tertentu senantiasa mengalami perubahan secara flutuatif, tidak ada sesuatu perubahan yang terjadi dalam sebuah birokrasi yang selalu mengarah kepada perubahan secara positif, misalnya selalu memperoleh keuntungan dalam berusaha atau juga senantiasa memperoleh kemudahan dalam penyelesaian suatu kegiatan. Tetapi juga senantiasa mengalami perubahan yang senantiasa mengarah kepada kondisi negatif, misalnya mengalami kerugian, menghadapi permasalahan dalam pelaksanaan suatu kegiatan. Mengapa demikian? Karena aktivitas birokrasi banyak dipengaruhi oleh kondisi politik yang sedang beraksi. Politik memang beraksi untuk mendapatkan suatu kekuasaan yang diistilahkan dengan otoritas. Bila kita mengidentifikasi otoritas dalam suatu birokrasi, kita dapat kemukakan argumentasi sebagai bahan penghayatan, sebagai berikut: a.
Otoritas kharismatik. Setiap anggota dalam suatu birokrasi tidak lepas dari kekuasaan dan kewenangan yang sifatnya warisan dari pendahulunya yang memiliki ikatan hubungan keluarga atau dengan kata lain memiliki hubungan darah dari pendahulunya yang mendapat pengakuan dan kekaguman dari pengikutnya pada khususnya dan anggota masyarakat luas pada umumnya. Otoritas kharismatik yang dimiliki oleh pemimpin suatu birokrasi akan menjadi suatu kekuatan apabila manusia yang memiliki kharismatik itu, juga memiliki kemampuan pengetahuan teoritis terutama di bidang kepemimpinan yang diperoleh melalui proses belajar. Demikian pula sebaliknya jika otoritas yang dimiliki oleh seseorang hanya mengandalkan kharismatik yang diwarisi oleh pendahulunya, maka akan memiliki kelemahan dalam rangka melaksanakan otoritas itu dalam suatu birokrasi. b.
Otoritas tradisional. Kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang anggota birokrasi berdasarkan tradisi dari warisan nenek moyang mereka, dapat memberikan suatu kekuatan jika nilai-nilai tradisi itu belum mengalami pergeseran dalam kehidupan masyarakat pada umumnya dan terutama bagi kehidupan birokrasi yang bersangkutan, dapat menjadi penghambat apabila nilai-nilai tradisional itu tetap dipertahankan terutama pemimpin birokrasi yang bersangkutan. c.
Otoritas legal. Kekuasaan dan kewenangan yang diberikan kepada seseorang dalam sebuah birokrasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan dituangkan dalam suarat keputusan oleh pejabat yang diberikan kewenangan untuk itu. Hal inilah yang dimaksudkan dengan otoritas legal. Kekuasaan dan keweangan yang memiliki legalitas dapat memperkuat pelaksanaan kekuasaan dan kewenangan yang melekat pada diri seseorang anggota birokrasi. Kekuasaan dan kewenangan yang ditetapkan suatu peraturan perundang-undangan akan mempermudah pelaksanaannya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan itu.
Kekuasaan dan kewenangan manusia yang terikat dalam sebuah birokrasi memeiliki tingkatan yang berbeda-beda, semakin tinggi posisi seseorang maka kekuasaan dan kewenangan semakin besar, tetapi tanggungjawab dalam penyelesaian berbagai aktivitas semakin kecil. Demikian pula sebaliknya bila posisi seseorang semakin rendah, semakin kecil pula kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki, tetapi semakin besar tanggungjawab penyelesaian aktivitas. Fenomena ini dalam birokrasi mendorong manusia untuk berusaha menciptakan kemampuan untuk dapat merebut kekuasaan dan kewenangan yang lebih tinggi. Istilah yang popular dewasa ini merebut posisi yang sedikit kerja, tetapi penghasilannya besar.
Perebutan kekuasaan dan kewenangan yang didasarkan kepada profesionalisme, rasionalisme dan moralitas merupakan suatu penyakit atau patologi dalam birokrasi. Profesionalisme manusia yang lemah dalam sebuah birokrasi sebenarnya dapat dipastikan akan berakibat negative terhadap perkembangan birokrasi itu sendiri karena produktivitas birokrasi semakin lemah dan semangat kerja pun akan menurun. Rasionalias manusia birokrasi yang lemah beraibat kreativitas dalam melakukan suatu aktivitas semakin lemah pula dan hasil kerja pun semakin berkurang. Manusia dalam birokrasi yang memiliki moralitas yang lemah dapat berakibat perbuatan yang dilakukan itu sellau saja merugikan brokrasi bahkan dapat mematikan birokrasi itu sendiri.
Kerugian pokok dari perebutan kekuasaan dan kjewenangan terletak pada kebingungan yang diciptakan oleh anggota birokrasi itu sendiri, di mana kecenderungan diciptakannya kondisi yang terpupuknya pergulatan akan kehausan kekuasaan, ketidakpuasan apa yang diperoleh dalam birokrasi, pembagian dan beban kerja yang diberikan kepada setiap anggota birokrasi semakin tidak tegas dan elas. Hal ini akan berakibat: a.
Perbahan yang terjadi dalam birokrasi bukan didasarkan kepada tindakan profesionalitas, rasionalitas dan moralitas sehingga kehidupan birokrasi semakin lemah dan lesu; b.
Tidak efektif dan efisiensinya dalam mengembangkan tuntutan para anggota birokrasi terhadap performa produknya dengan kebutuhan pengembangan birokrasi itu sendiri; c.
Tidak termotivasinya anggota birokrasi untuk mengembangkan kreativitas dan inovasinya; d.
Setiap anggota birokrasi dalam melakukan suatu tindakan bukan lagi berdasarkan kepada pemikiran rasional, tetapi kecenderungan tindakannya irasional; e.
Interaksi dan reaksi baik antara anggota birokrasi, antara anggota birokrasi dengan anggota masyarakat lainnya senantiasa mengabaikan norma-norma moralitas. Virus penyakit atau patologi birokrasi tersebut di atas, dapat menciptakan pertanyaan bahwa apakah virus penyakit atau patologi birokrasi itu dapat disembuhkan dengan menggunakan terapi yang tepat? Sebagaimana kita telah ketahui bahwa jiwa atau roh dan fisik birokrasi adalah manusia, demikian pula halnya dengan virus penyakit atau patologi birokrasi itu adalah manusia juga oleh sebab itu birokrasi memerlukan manusia yang memiliki keunggulan: a.
Unggul dalam penguasaan ilmu dan teknolgi. Telah disadari bahwa peranan ilmu dan teknologi dapat mendorong manusia untuk berusaha menggunakan pemikirannya yang berorientasi kepada rasionalitas dan bertindak secara terampil, sehingga manusia yang bersangkutan terhindar dari pikiran dan tindakan yang bersifat egoisme. b.
Unggul dalam penguasaan strategik. Kondisi birokrasi menghadapi dua jenis lingkungan, yaitu lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Dengan penguasaan strategic dalam persaingan kemungkinannya akan dapat terhindar dari pemikiran dan tindakan yang bersifat egoisme. c.
Unggul dalam berkolaborasi. Tindakan berkolaborasi dalam kehidupan birokrasi adalah suatu hal yang tidak mungkin dapat dihindari, tetapi justru perlu dikembangkan untuk mengembangkan jaringan atau hubungan kerja dengan berbagai pihak, karea keberhasilan suatu birokrasi sangat tergantung