ETIKA DAN MORALBANGSA DITENGAH HIMPITAN MODERNITAS
Dalam
terminologi Aristoteles manusia diistilahkan dengan makhluk “zoon
politicon” (manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan sesamanya). Dalam
kenyataannya proposisi tersebut memang terasa benar , terlebih lagi jika
dikaitkan dengan sifat dasar manusia yang selalu butuh untuk bergaul
dengan manusia lain, hal senada juga pernah diungkapkan oleh Abraham
Maslow dalam teorinya “ piramida kebutuhan manusia” Maslow mencantumkan
“pergaulan dengan manusia lain” merupakan salah satu kebutuhan dari
setiap individu.
Pada
hakikatnya sekalipun kita tidak mengacu kepada kedua teori diatas,
setiap individu tetap akan menyadari bahwa bergaul dengan sesamanya
merupakan sebuah keharusan yang mau tidak mau harus ia lakukan, sebagai
sampel ketika seseorang mencoba mengisolasi diri secara total dari
individu lain maka dapat dipastikan kejenuhan dan kepusingan yang luar
biasa akan menghinggapinya. Mungkin saja beberapa diantara kita akan
mencoba membantah kedua teori diatas dengan mengajukan teknik
penyendirian yang dilakukan oleh kaum sufi sebagai bukti bantahan, untuk
konteks tersebut seharusnya kita mampu memahami bahwa proses menyendiri
(tidak bergaul dengan manusia lain) yang dilakukan oleh kaum sufi
tidaklah bersifat permanen melainkan untuk sementara waktu saja sampai
ia menemukan kesejatian diri. Kebutuhan untuk berinteraksi dengan sesama
manusia mendatngkan konsekuensi logis tersendiri bagi setiap individu
yng melahirkan konvensi-konvensi tertentu diantara mereka walaupun dalam
tataran tertentu dan dalam perkembangannya konvensi-konvensi tersebut
seringkali dibakukan kedalam bentuk hukum yuridis formal tetapi sebagian
diantaranya tetap dibiarkan hidup ditengah masyarakat tanpa harus
disentuh oleh otoritas hukum formal, konvensi tersebutlah yang sering
dijadikan tendensi untuk mengukur etika dan moral setiap individu yang
dalam skala makro ia dijadikan patokan untuk menilai etika dan moral
sebuah bangsa.
Dalam
tataran filosofis etika moral sering didefinisikan secara mirip sebagi
filsafat yang membahas mengenai baik dan buruk yang pantas dilakukan dan
yang tidak pantas dilakukan dengan menjadikan tindakan manusia sebagai
objek kajian. Berangkat dari pendefinisian diatas maka seyogyanya kita
mampu memahami bahwa penfsiran mengenai baik dan buruk selalu terkait
dengan ruang sosial manusia meliputi waktu dan kondisi tempat manusia
berdiam sehingga merupakan sebuah kewajaran jika persepsi manusia
mengenai baik dan buruk senantiasa mengalami pergeseran dari masa ke
masa sebagaimana telah dibuktikan oleh hukum sejarah dimana banyak
tingkah laku dan perbuatan manusia yang dulunya dianggap sopan tetapi
sekarang justru dianggap berlebihan bahkan orang yang masih bersikukuh
pada etika tersebut terkadang dikenai sanksi hukum formal yang berlaku,
semisal perbuatan seorang ata (pembantu atau budak, red) yang rela
mengorbankan nyawa atas perintah tuannya dianggap sebagai sebuah
perbuatan mulia dalam konteks masyarakat Sulawesi Selatan klasik akan
tetapi dalam ruang masyarakat modern yang lebih mementingkan hak asasi
atas setiap manusia maka perbuatan tersebut bukannya dianggap sebagai
sebuah perbuuatan mulia tetapi justru dipersepsi sebagai sebuah tindakan
konyol yang sama sekali tidak mendapat tempat didalam ruang modernitas
demikian pula sebaliknya, terdapat beberapa tindakan manusia di zaman
tradisional ( tradisional dalam tahapan zaman bukan dalam varian aliran
pemikiran) yang termasuk kategori etis namun ia dianggap sebagai sesuatu
hal yang sangat tidak etis dalam kultur masyarakat modern, untuk kasus
ini kita bisa merefleksi adat yang berlaku di zaman kerajaan ketika
seorang rakyat diharuskan membungkuk saat ia menghadap kepada sang raja
akan tetapi jika kebiasaan semacam itu yang ingin kita adopsi dalam
dunia kekinian maka ia akan segera menampakkan diri sebagai sebuah hal
tabu sebab tuntutan kemoderenan menghendaki agar rakyat bersikap biasa
saja ketika bertemu dengan presiden (perkecualian untuk beberap tempat
yang masih mempertahankan adat-adat kraton).
Pada
faktanya, pergeseran norma etika tidak hanya terjadi pada tataran
praktis melainkan pergeseran serupa dapat kita jumpai dalam tataran
konsep (theory) hal tersebut akan semakin jelas ketika kita coba
membandingkan antara konsepsi beberapa pemikir Yunani kuno seperti
Epikurus, Stoic, Aristoteles, Plato dll dengan konsepsi etika menurut
Immanuel Kant yang mewakili zaman modern, menurut Kant dalam “second
critique”nya, konsepsi etika dari beberapa pemikir Yunani awal tidak
mampu membedakan antara “virtue” (kebaikan tertinggi yang bersifat
unconditioned, tak bersyarat, otonom, universal (berlaku untuk semua
orang tanpa memandang perbedan ras, suku atau bangsa) dan “happiness”
yang bersifat conditioned, bersyarat, heteronom, dan particular (berbeda
antara orang yang diinginkan antara orang yang satu dan orang yang
lain, antara kelompok yang satu dan kelompok yang lain). Dengan kata
lain hubungan antara virtue dan happiness tidak begitu jelas dalam
konsepsi yang dikemukakan oleh para pemikir Yunani, mereka cenderung
menyamaratakan saja antara keduanya, paling banter hanya Aristoteles
yang selangkah lebih maju dari pemikir Yunani lainnya dengan cara
mengklasifikasikan nilai-nilai moral seperti kebijaksanaan (wisdom),
keberanian (courage), kesederhanaan (temperance), dan keadilan
(justice).
sepintas
kita bisa menarik benang merah dengan berasumsi bahwa pergeseran konsep
etika dari zaman klasik ke zaman modern dipengaruhi oleh realitas
praktis etika yang berubah dari waktu kewaktu akan tetapi dilain sisi
kita bisa melakukan pembacaan terbalik terhadap asumsi tersebut bahwa
bukan fakta moral yang mempengaruhi perubahan konsep etika tetapi justru
konsep etika yang berpengaruh terhadap perubahan fakta moral dilapangan
dengan rasionalisasi bahwa cara pandang yang dianut berdasarkan teori
etika tertentu mampu mengarahkan seseorang dalam bertindak sebagaimana
seorang komunis bertindak berdasarkan teori “materialisme dialektika
historis” ala Karl Marx, karena cara pandang tersebut memiliki
kemungkinan yang besar untuk menjadi ideologi bagi dirinya.
Tetap
terbuka ruang kemungkinan jika asumsi pembacaan terbalik hanya akan
berlaku di kalangan kaum terdidik karena mereka yang terbilang paling
aktif mengkonsumsi buku-buku terkait etika sementara kalangan awam akan
lebih cenderung mengaktualkan etika lewat pahaman tradisional yang
diajarkan secara turun temurun oleh pendahulunya atau melalui keyakin
agama yang mereka anut sebab setiap ajaran agama selalu menuntut
pemeluknya untuk mempraktikkan ajaran etika dan moral baik sebagaimana
yang diperintahkan oleh kitab suci agama tersebut, pada faktanya,
pengaruh agama dalam mengaktualkan etika juga dapat kita pandangi dalam
pola etika kaum terdidik hanya saja ia tidak terlihat sangat dominan
layaknya yang terjadi pada kelas masyarakat awam disebabkan pemahaman
awal mereka tentang moral telah bercampurbaur dengan konsepsi etika yang
mereka konsumsi dari buku-buku atau tempat diskusi sehingga melahirkan
sebuah sintesa baru. Ada sebuah pertanyaan yang patut dipikirkan bersama
terkait dengan topik diatas, apakah tindakan individu mengenai moral
selalu berkiblat kepada teori dari para konseptor etika atau ia
bertindak berdasarkan konsep etika menurut dirinya, sebab baginya setiap
orang memiliki pemahaman tersendiri mengenai moral. Jika kita sepakat
bahwa pemahaman mengenai atika dan moral merupakan privasi dari setiap
individu maka secara tidak langsung kita sepakat jika etika tidak harus
dikonsepsikan secara formal oleh para pemikir etika karena konsepsi
mereka belum tentu mampu mengcover semua pahaman masyarakat mengenai
etika dan moral (penulis tidak bermaksud mengkontradiksikan statement
terakhir dengan penyataan pada kalimat sebelumnya yang menyajikan konsep
etika dari beberapa pemikir).
Di
alam jagad sosial, terdapat kecenderungan dalam masyarakat pada strata
sosial tertentu yang mampu mempengaruhi munculnya pergeseran moral.
Pergeseran yang dimaksudkan bukan hanya pergeseran dalam satu rangkaian
koridor moral (sebuah item moral baik berubah ke item moral baik lainnya
atau sebaliknya) melainkan ia juga bisa berarti pergeseran dalam dua
rangkaian moral yang memang secara alamiah terlihat kontradiktif (
pergeseran dari moral buruk ke moral baik atau dari moral baik ke moral
buruk) hal tersebut sangat bergantung kepada situasi realitas dan
konteks yang lagi dicandrai oleh manusia dalam lingkungan masyarakatnya.
Sekedar uraian singkat dan bukan bermaksud menggeneralkan, proses
perubahan moral dan etika pada umumnya mengalir dari atas kebawah,
dengan ungkapan lain ia dimulai oleh hirarki masyarakat di lapis atas
lalu diikuti oleh masyarakat dilapis bawah. Pemerintah ataupun penguasa
sebagai representasi dari masyarakat dibagian atas (pembedaan ini
mungkin akan terasa janggal di telinga sebagaian pembaca karena pahaman
masyarakat seringkali menganggap pemerintah atau penguasa berada diluar
lingkaran strata masyarakat) memiliki andil besar dalam proses perubahan
moral baik pada tataran konseptual maupun dalam lingkup praktis, dalam
pandangan penulis aggapan tersebut bukanlah sesuatu hal yang sukar
dipahami mengingat pemerintah sebagai pengendali kebijakan masih menjadi
sorotan rakyat bahkan bagi sebagian rakyat segala tindakan pemerintah
merupakan model ideal yang patut diikuti sekalipun ia terlihat
menyimpang Dalam kerangka psikologis, kita mungkin bisa berpandangan
bahwa prilaku masyarakat yang tanpa tedeng aling-aling mencomot semua
prilaku aparatus negara sekalipun ia merupakan etika buruk semisal
korupsi atau sering mangkir dari kewajiban kenegaraan merupakan jenis
prilaku menyimpang akan tetapi dari perspektif lain tindakan tersebut
juga bisa dilihat sebagai sebuah cerminan keputusasaan masyarakat
terhadap prilaku aparatus pemerintah sebagaimana guyonan yang sering
kita dengar “mengapa kami tidak boleh berprilaku menyimpang kalau
pemerintah saja sering beretika menyimpang”. Jika nalar semacam ini
terbentuk didalam mindset masyarakat maka pergeseran dari etika luhur ke
moral rongsokan akan dipersepsi sebagai dinamika natural. Pada tahapan
ini kita tidak mungkin menafikan reaksi dari sekelompok masyarakat
terdidik terhadap prilaku bejat dari beberapa punggawa negara, tentunya
reaksi negatif tersebut akan dikonkritkan dalam berbagai format mulai
dari kritik lewat dunia maya, diskusi kritis diberbagai media, sampai
aksi terbuka di lapangan.
Di
era modernitas, kita seakan sangat sulit untuk menemukan
pribadi-pribadi pemimpin agung yang selalu memperlihatkan etika dan
moral terpuji dan kalaupun ada maka yakin dan percaya jumlahnya bisa
dihitung jari, sementara pada level konseptual, pemerintah mampu
menstimulus rakyat untuk merubah konstruksi etika tertentu secara
konsepsional lewat pelembagaan konsepsi etika secara formal melalui
institusi (meminjam bahasa Michael Foucault), walaupun tindakan tersebut
bukan berjalan tanpa tantangan sebab dalam iklim demokrasi konsepsi
etika yang ditelorkan lewat institusi terkadang menuai kontroversi
berkepanjangan sebagaiman produk fatwa MUI atau majelis tarjih
Muhammadiyah yang lalu dibakukan dalam bentuk undang-undang oleh DPR
terkadang memancing reaksi luas dari masyarakat karena dianggap
melanggar kebebasan berekspresi. Sekedar bahan perbandingan, maka dalam
tulisan ini tetap perlu diketengahkan realitas lain bahwa pada dasarnya
setiap kelompok masyarakat memilki standar etika tertentu berdasarkan
starata sosialnya yang dalam berbagai kasus standar etika antara starata
sosia biasanya berbeda bahkan terdapat kecenderungan untuk melestarikan
perbedaan itu diantara strata sosial yang berbeda karena secara sadar
ia telah menjelma sebagai penanda bagi kelompoknya. Untuk lebih jelasnya
kita bisa membandingkan standar etika dalam kelompok masyarakat
pinggiran dengan standar etika menurut kelompok masyarakat elit, namun
dalam pandangan penulis tidak adil kiranya jika kita ingin
mendikotomikan ragam etika yang berkembang dalam setiap kelompok,
terlebih lagi jika memberikan label “rendah” terhadap etika masyarakat
pinggiran dan label “tinggi” kepada etika masyarakat elit (elit
perkotaan atau pedesaan) sebab dari sudut pandang cultural studies
pembagian tersebut sangat bernuansa “post kolonial”, olehnya itu ia
lebih layak dihargai sebagai bentuk kergaman etika yang dipengaruhi oleh
situasi dan konteks dari setiap individu.
Era
modernitas sebagai sebuah tahapan terkini dalam kehidupan manusia
merupakan sebuah zaman yang didalam kehadirannya turut membawa berbagai
perangkat kehidupan yang ditawarkan kepada setiap individu salah satu
diantaranya adalah perangkat etika dan moral. Pada dasarnya setiap
manusia diberikan kebebasan untuk menerima ataupun menolak perangkat
moral tersebut namun dalam kenyataannya sikap manusia yang secara umum
terbagi kedalam dua kutub besar (kutub pertama menerima modernitas
sedangkan kutub kedua menolak modernitas secara total) sama-sama menemui
jalan buntu dalammengapresiasi modernitas, kutub pertama dikatakan
gagal karena seluruh norma modernitas termasuk norma etika diterima
secara membabibuta tanpa melalui proses filterisasi sehingga alih-alih
bermimpi untuk menjadi modern mereka justru terperangkap didalam sangkar
westernisasi sedangkan kutub kedua dikatakan gagal karena sikap mereka
yang terlalu eksklusif terhadap modernitas, secara tidak langsung sikap
tersebut menutup ruang ke arah kemajuan. Mungkin hanya golongan creative
minority yang mampu menyeleksi dengan cerdas mana etika dan moral
modernitas yang bisa diterima dan mana yang harus ditolak sebab tidak
sesuai dengan latar belakang kultur kita. Kehadiran modernitas
sebenarnya merupakan ujian tersendiri bagi manusia, apakah ditengah
ekspansi modernitas yang begitu massif ia masih mampu menjaga stabilitas
dan moral kelompoknya (menjaga bukan berarti tanpa perubahan namun
perubahan etika hendaknya tetap berada didalam bingkai kultur dari
setiap komunitas) atau ia justru akan diterabas oleh kebengisan
modernitas dengan berbagai perangkat yang mengiringi kehadirannya.
Dari
perspektif genealogi, tinta sejarah telah menuliskan bahwa setiap fase
peradaban yang pernah lahir, selain memproduksi kemajuan juga membawa
perangkat norma tertentu sesuai dengan daerah kelahirannya. Untuk
konteks ini, penting kiranya bagi kita agar mencermati peta kelahiran
modernitas, sebagai sebuah tahapan sejarah paling mutakhir, modernitas
yang lahir dalam alam kehidupan Eropa tak pelak lagi telah membawa serta
semua norma etika dan moral kedalam dirinya bahkan boleh dikata norma
etika dan moral tersebut merupakan dasar berpijak bagi modernitas barat,
semisal etika kebebasan atau lainnya. Dalam perjalanannya modernitas
yang menjanjikan kemajuan bagi penganutnya kemudian bisa diterima bukan
hanya di Eropa tetapi diseluruh benua yang ada di dunia, ketika proses
penerimaan berlangsung, disadari atau tidak, setiap bangsa akan
menghadapi dilema tersendiri terkait bagaimana mendefinisikan kemajuan,
apakah kemajuan harus didefinisikan dalam bentuk meninggalkan tatanan
nilai lama lalu bergeser kepada tatanan nilai baru atau tetap ada
tatanan nilai lama tertentu yang harus dipertahankan kaena sekalipun ia
berasal dari periode tradisional akan tetapi ia sebenarnya mampu
mendukung proyek modernitas, kalaupun kita menerima asumsi kedua maka
pertanyaan selanjutnya adalah tatanan nilai mana yang harus ditinggalkan
dan tatanan nilai mana yang mesti dipertahankan? Terkait dengan hal ini
maka sebuah bangsa biasanya terlihat menempuh sikap paradoks dalam
pergumulan menerima atau menolak norma etika dan moral tertentu yang
berasal dari luar. Sebagai deskripsi sederhana, ketika bangsa Indonesia
ingin mengaplikasikan etika kebebasan yang notabenenya merupakan salah
satu etika yang lahir dari rahim modernitas maka perdebatan yang
berujung pada pro dan kontra terhadap etika kebebasan merupakan sebuah
pemandangan yang barang tentu akan mewujud kedalam ruang publik
nusantara, bahkan sekalipun semua orang setuju mengenai kebebasan maka
perdebatan mengenai hal itu tidak akan berhenti dengan sendirinya sebab
orang masih beradu argumen mengenai standar kebebasan, apakah kebebasan
yang kita inginkan memiliki batasan tertentu atau ia merupakan kebebasan
absolute yang tidak butuh pembatasan. Ketegangan-ketegangan semacam ini
merupakan hal yang tak dapat terhindarkan sebab sebelum kelahiran
modernitas barat (penggunaan “modernitas barat” penting dicantumkan
didalam artikel ini karena pada dasarnya terdapat berbagai peradaban
yang pernah mengusung ide-ide kemoderenan sesuai dengan ruang dan
waktunya) setiap bangsa telah memilki perangkat etika dan moral
tersendiri yang jenisnya beragam antara suku yang satu dan suku lainnya
sehingga harus ada dialog kultural dalam proses penerimaan norma etika
dan moral modernitas.